Monday, June 16, 2008

Artikel EPOS RAMAYANA DAN REALITA

Iswara
Pementasan Lakon Teater, “Maaf. Maaf. Maaf.” karya N. Riantiarno
EPOS RAMAYANA DAN REALITA


Epos Ramayana yang telah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia akan selalu menarik untuk disimak sebagaimana menonton pagelaran wayang atau menonton epos Ramayana di televisi. Menonton epos Ramayana karya N. Riantiarno, penonton akan selalu berharap menemukan kaitannya dengan realita dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang luhur senantiasa tergambar dalam sebuah karya sastra yang telah terbuang dari menara gadingnya. Hal itu menjadi kenyataan saat epos Ramayana dipentaskan berdasar pada drama karya N. Riantiarno itu. Pementasan itu digelar Lakon Teater UPI Bandung di gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa pada tanggal 12, 13 September lalu dan masih akan dipentaskan pada bulan November sampai Desember akhir tahun ini. Pementasan yang telah diselenggarakan itu menyedot perhatian penonton yang terdiri atas mahasiswa, mahasiswa sekolah pascasarjana dan pemerhati seni di sekitarnya.

Kenikmatan menonton “Maaf. Maaf. Maaf. (Politik Cinta Dasamuka)” akan menggelora karena N. Riantiarno mengolah karyanya ini dalam gaya tragedi komedi. Den Ario yang menjadi tokoh sentral drama ini menganggap dirinya sebagai Dasamuka Raja Diraja dari negeri Alang-alangka setelah mendapat cahaya wangsit. Ia akhirnya dimahkotai Uti / Nenek Ratu Cahaya. Selanjutnya Den Ario memanggil semua keluarganya dengan tokoh-tokoh epos Ramayana. Bandem, abdinya di rumah, dianggapnya sebagai Patih Prahasta. Ibu, istrinya, dianggap sebagai Dewi Shinta. Adiknya dianggapnya sebagai Sarpakenaka. Anak-anaknya dianggap sebagai Trijata, anak Wibisana; Wibisana, Laksmana, Rama, Hanggada, dan Hanoman.

Den Ario amat tergila-gila pada istrinya yang dianggapnya sebagai Dewi Shinta. Istri Den Ario pun menikmati cintanya dengan Den Ario tanpa ada kekhawatiran terjadinya petaka. Ia beranggapan sekalipun suaminya menganggap dirinya sebagai Dasamuka, toh Dasamuka tidak secara realitas memimpin dengan angkara semisal membunuh penduduk dengan lalim, merampas harta benda mereka, merampas anak gadis mereka, dan meneror penduduk dengan ketakutan. Den Ario justru mempropagandakan pembangunan dengan meresmikan MCK Center. Dasamuka meresmikan MCK Center itu di tengah gempita sambutan rakyatnya yang bergembira. MCK atau tempat mandi, cuci dan kakus tentu saja sangat bermanfaat di tengah hingar-bingar pusat perbelanjaan yang maju. Ini menjadi salah satu ironi, yaitu komedi di tengah tragedi. Sebagian penonton tentu memahami politik mercu suar yang dibangun di negeri ini ketika pemerintah sok-sokan membangun freeport, exxon mobile, juga Meryl Line (ML) untuk eksplorasi minyak serta pertambangan dan penebangan hutan yang mengelembungkan isi dompet kapitalis luar alih-alih membangun keadilan bagi rakyat sendiri. Pemerintah saat itu hanya berkepentingan pada segelintir orang yang serakah dan ingin memperkaya diri tanpa peduli akan nasib bangsa dan penjajahan atas negerinya. Ini menjadi pesan moral yang diusung Riantiarno dalam karyanya.

Menanggapi kegilaan Den Ario itu, mula-mula keluarganya tenang-tenang saja dan menikmati perannya. Istri merasa berada dalam cinta yang murni. Demikian pula adik Den Ario, sebagai perawan tua yang haus cinta menikmati perannya sebagai Sarpakanaka yang mencintai pemuda Laksmana. Namun kecemasan mulai merebak ketika dua penyusup masuk ke dalam rumah Den Ario. Serta-merta Den Ario menganggap dua penyusup itu sebagai Hanoman dan Hanggada. Sebagai hukuman, keduanya harus dibakar. Menurut pakem cerita yang diyakini keluarga Den Ario, Hanoman dan Hanggada akan selamat dari hukuman bakar itu. Sebaliknya kerajaan Alang-alangka justru akan terbakar. Karena tidak ingin rumah ‘kerajaan Alang-alangka’ itu terbakar, sandiwara harus disudahi dengan ditangkapnya Den Ario alias Rahwana alias Dasamuka itu.

Di tengah kegilaan Den Ario itu, sandiwara epos Ramayana disisipi dengan adegan pendirian semacam lembaga bantuan hukum buatan pemerintah yang diberi nama Lembaga Manajemen Nafsu. Dengan didirikannya lembaga itu, demonstrasi dan segala kemarahan harus melapor dahulu sebelum melaksanakan aksinya. Maka orang-orang yang marah pun kebelet untuk menumpahkan marahnya, mengantri untuk mendapatkan izin marah. Bandem, abdi Den Ario yang berperan pula sebagai Patih Prahasta memimpin Lembaga Manajemen Nafsu ini. Ia pula yang melakukan pelarangan terhadap penerbitan buku puisi dari penyair yang kritis yang dianggapnya sebagai karya yang tak masuk akal.

Pementasan ini merupakan bagian dari karya besar N. Riantiarno. Karya-karyanya jika diamati lebih lanjut merupakan karya yang sarat dengan nilai yang dekat dengan kehidupan. Notabene, karya-karya Riantiarno sangat kritis terhadap pemerintahan dan berlangsungnya kehidupan pada masanya. Pemberangusan, demonstrasi, pelarangan, kegilaan rezim pemerintah, ditampilkan sebagai sosok idola yang mengesankan.

Drama ini dibuat pada zaman orde baru, pada masa pementasan yang kritis dan radikal amat rentan untuk dapat dipentaskan. Pelarangan-pelarangan yang dilakukan oleh rezim selalu memberangus sastrawan dalam upayanya memperbaiki realita dan menyodorkan kenyataan. Penulis drama tak kurang akal untuk selalu menyodorkan realitas demi memperbaiki keadaan melalui karya-karyanya. Semua itu dapat dibandingkan dengan karya-karya Riantiarno yang lain seperti Trilogi Bom Waktu: Bom Waktu, Opera Julini, dan Opera Kecoa. Juga karya lainnya seperti Opera Ikan Asin.

Jika penonton bertanya pakem, tentu penonton tidak akan dipuaskan dengan pementasan “Maaf.Maaf.Maaf.” ini, sebagaimana tak tercermin di dalam judulnya sekalipun ada embel-embel judul kecil “Maaf.Maaf.Maaf. (Politik Cinta Dasamuka)”. Pakem rasanya menjadi bayang-bayang semu ditingkah kreatifitas Riantiarno. Justru nilai-nilai luhur lainnya dirasakan lebih menerap dalam pementasan ini.

Demikian pula jika penonton berharap pada pementasan wayang orang, karya Riantiarno bukanlah karya ajeg wayang orang. Lebih lanjut karya Riantiarno ini merupakan drama modern sebagaimana pementasan terdahulunya yaitu Pandawa Adu Dadu (1991) karya Wahyu Wibisana, sutradara Godi Suwarna. Segala atribut dan instrumen yang digunakan total sebagai drama modern. Tidak ada pulasan wayang orang kecuali tokoh-tokohnya yang memang tokoh pewayangan.

Epos Ramayana sebagaimana telah ditayangkan pula Epos Mahabarata, dapat kita lihat di televisi lokal Bandung ("Hanoman" di Bandung TV setiap pukul 13.00, 11/2006). Di saluran televisi penonton tentu terpuaskan harapannya akan pakem epos Ramayana yang sebenarnya. Melalui sajian di televisi, penonton mendapati ritual epos Ramayana begitu dalam dengan hidmatnya sebagai cerita sastra yang tinggi nilai-nilainya. Epos Ramayana menunjukkan peradaban yang tinggi, kepahlawanan, kerendahatian, ditingkah kelaliman Rahwana.

Nilai-nilai yang diusung epos Ramayana bisa jadi berkaitan dengan globalisasi ini. Panah-panah diganti rudal-rudal. Pasopati dan bramastra diganti kathyusha. Pemanah ulung berganti menjadi prajurit gerilyawan yang mengusung rudal-rudal pembalas. Penonton akan melihat keadilan akan selalu diserukan oleh orang-orang yang ditindas. Juga orang yang ditindas karena kekayaan alam negerinya dikeruk serta bangsanya dikerdilkan. Penonton akan melihat bahwa orang-orang yang ikut serta dalam membela kebenaran akan menjadi bagian dari penegak kebenaran. Sebaliknya orang-orang membiarkan berlangsungnya kejahatan akan menjadi bagian dari atau sama dengan orang-orang yang melakukan kejahatan itu sendiri. Sebagaimana Balarama atau Baladewa yang tidak berpihak pada satu sisi pun dianggap sebagai bagian dari kejahatan bagi Sri Kresna yang maksum. Ketika Baladewa marah karena Bima memukul bagian terlarang dari muridnya, yaitu paha dan pinggul Duryudana; Sri Kresna menentang kemarahan Baladewa itu dengan bijaknya. Akhirnya kemenangan yang menjadi hak Pandawa pun dapat diperoleh dan sejarah tidak lagi dimanipulasi. Demikian pula Karna atau Radea sekalipun mengetahui dirinya saudara tua Pandawa dan mengetahui kejahatan Duryudana, Radea tetap membela Duryudana. Karna pun akhirnya mendapatkan karmanya untuk mati di tangan Pandawa.

Kemenangan Hamas di Libanon dan pemilu di Irak menunjukkan bahwa rakyat menentang hegemoni penjajah yang angkara. Pendudukan pasukan asing memaksa mendirikan pemerintah boneka penjilat dan menangkapi pejabat-pejabat resmi yang didukung rakyat. Sejarah sedang dimanipulasi dengan begitu kerasnya. Bila Pandawa kalah perang, Pandawa akan tetap dicap sebagai penjahat dan Duryudanalah pembela kebenarannya. Sekalipun jelas-jelas Duryudana merupakan diktator penumpah darah yang berbahaya. Demikian pula pengembangan teknologi nuklir Iran, yang ditentang barat merupakan bukti penjajahan hegemoni asing yang justru mengembangkan nuklir dalam teknologi perangnya. Segala jalan damai ditempuh untuk menuntut hak-hak kemanusiaan, tetapi orang-orang jahat yang merasa dirinya kuat senantiasa ingin memaksakan kehendaknya menindas rakyat. Mereka berusaha memonopoli kekuasaan dan memukul semua kekuatan baru sekalipun didukung oleh keadilan rakyat.

Demikianlah sebuah pementasan akan selalu dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi dalam realitas. Peristiwa-peristiwa dalam pementasan akan menjadi inspirasi bagi apresiannya untuk mengambil hikmahnya. Sebuah pementasan tidak bisa berlepas diri dari realitas. Apalagi pementasan dengan tema-tema besar seperti yang berkaitan dengan kemanusiaan, keadilan atau kesejagatan.

Pementasan Riantiarno merupakan hiburan yang dibumbui dengan komedi sebagai penyegar suasana. Drama-drama di Indonesia, sebagaimaa diungkap Sumarjo, merupakan drama yang semestinya berakar dari drama tradisional seperti longser, ketoprak dan sandiwara; saat pemain bisa berdialog dengan penonton dan penonton dapat menanggapi permainan drama itu. Gaya komedi dari naskah ini kerap kali menggelitik pemirsanya sehingga pementasan ini menjadi sedap untuk ditonton.

Pementasan Lakon Teater Universitas Pendidikan Indonesia ini menjadi menyejuk dahaga dalam dunia pementasan di kota Bandung khususnya di antara pementasan Studiklub Teater Bandung terdahulu yaitu Arturo UI dan pementasan Culture Center Ledeng dan pementasan teater kampus di STSI.


18 November 2006

0 comments: