Monday, June 16, 2008

Cerpen BERAS

Cerpen Iswara
Beras

Alangkah bahagianya mereka kulihat. Tidak ada yang lebih membahagiakan para petani berkenaan dengan pekerjaannya selain ketika memanen padi di sawah. Padi yang sudah menguning dituai dengan arit, dipisahkan dengan antara biji padi dengan batangnya, lalu dijemur, ditumbuk sampai menadi beras dan siap untuk dijual.
Panen yang berlimpah dari ladang yang luas akan memenuhi lumbung-lumbung persediaan kami. Sebagiannya dapat ditukar dengan keperluan lain: lauk-pauk, sandang, keperluan belajar serta keperluan sehari-hari.
Ia dengan bersemangat pergi menuju sawahnya. Dilihatnya hamparan menguning yang menyejukkan hati. Setelah ia ikut mengerjakan panen orang lain, gilirannya memanen tanahnya sendiri. Setelah beres dituai, segera dibanting untuk memisahkan biji padi dengan batangnya. Seikat demi seikat padi dibanting-banting. Suaranya berirama diiringi dengan lagu dan tarikan napas pekerjanya. Lagu yang merintih dan terengah seperti lagu, syair dan tepukan duka Imam Ali Zainal Abidin. Akhirnya semua pekerjaannya beres hari itu juga.
Semilir angin yang sejuk. Awan yang mengandung hujan dan matahari yang mengintip di baliknya. Pemandangan yang lepas ke tempat-tempat jauh. Ada gelap pepohonan hutan di jauh sana. Alam yang masih mengandung misteri yang keramat sebagai bagian dari kekuasaan Tuhannya. Burung-burung kecil melesat dengan cepat menembus angin setelah memetik biji-bijian, melewati sungai-sungai yang mengaliri sebagian sawah yang hampir menguning.
Tuhan yang Maharahman telah menyediakan rezeki bagi setiap makhluk yang ada di dunia. Negeri ini begitu subur tanahnya. Siapa pun yang menanam, akan menuai panen. Tanah kami adalah tanah yang menerima segala tetumbuhan. Bermacam-macam biji-bijian dan buah-buahan keluar dari tumbuh-tumbuhan itu. Sebagian daun-daun dari tetumbuhan itu menjadi pakan bagi ternak-ternak milik para peladang. Di negeri ini tidak ada yang kelaparan karena orang-orangnya menanam tumbuh-tumbuhan.
Malam itu sepulang salat malam disempatkannya mampir di pos ronda. Ia ingin melihat kawan-kawannya yang sedang mengusir nyamuk dengan asap rokok.
“Mumpung merokok belum dilarang ….” katanya sambil melempar sebungkus rokok ke atas papan pos ronda tempat teman-temannya bersila dan bersarung.
“Ini pos ronda, Bung, bukan kampus kelas atau kantor.” Sudin menyambut sambil mengambil sebatang rokok dan menyelipkan di sela-sela bibirnya. Yang lain pun satu per satu mengambil rokok.
“Jadi sudah sah peraturan antimerokok itu?”
“Sudah.”
“Wah, bisa-bisa Serie A, Premier League, dan Bundes Liga batal tayang di teve.”
“Bakal bangkrut perusahaan rokok kita.”
“Tetapi ada yang lebih penting.” Sudin mengepulkan asap rokoknya.
“Apa?”
“Dengar-dengar Fahri sekarang tidak lagi menerima beras.”
“Ah, yang benar saja. Apa alasannya?”
“Entah.”
Sudin beranjak mengumpulkan ranting untuk dibakar. Ia melepas goloknya. Ranting yang besar dan panjang ditetaknya dengan golok. Ranting-ranting yang telah menjadi kecil dinyalakan. Apinya menghangatkan udara. Setiap orang di pos ronda itu menyelimuti tubuhnya dengan sarung.
“Tidak mungkin si Fahri tidak lagi menerima beras. Memangnya sejak kapan orang kita sudah tidak doyan nasi?”
Orang-orang menggerutu ada yang mengetuk si Fahri, ada pula yang mendukung berita si Fahri. Tetapi dari sanad yang ada tiada yang bisa dipercaya; walaupun matannya benar berkenaan dengan pekerjaan si Fahri.
Bintang-gemintang yang memenuhi langit kini menemaninya ke dalam mimpi. Kelap-kelip pada malam yang dingin, langit menurunkan embun di pagi hari. Malam itu hembusan angin amatlah kencang. Angin menembus ke tempat tidur di kamarnya dari sela-sela bilik anyaman bambu. Bara api yang membakar ranting-ranting untuk menghangatkan pos ronda berpijar dan asapnya naik ke udara. Malam makin larut.
Esoknya ia sudah mempersiapkan kepergiannya ke gudang si Fahri. Dari jauh si Sudin berteriak memanggil-manggilnya.
“Hei, kulihat hari ini si Fahri mencarimu.”
“Benarkah? Si Fahri? Ada apa?”
“Entah.”
“Ya. Aku tahu, dia mau membeli berasku. ‘Kan sudah beres aku mengiling beras.”
Bergegaslah ia pergi menuju gudang si Fahri. Rumahnya memang juga di sana, berdampingan dengan garasi mobil bak terbuka, khusus untuk mengangkut beras dan dagangan lainnya.
Fahri adalah orang yang punya harga diri. Di mata orang di kampungnya, Fahri adalah orang kaya. Karena itu ia menjadi orang terpandang di sana.
Jika seseorang hendak berjual beli beras dengannya, orang itu mesti bertransaksi dengan sangat hati-hati. Sebagaimana biasa si Fahrilah yang biasanya mempunyai kunci harga. Orang boleh menawar lebih tinggi, tetapi jatuhnya harga tidaklah terlalu jauh dari yang dipatok di awal. Kalau mau, ambil dengan harga segitu atau angkat kaki. Biasanya kalau sudah ada isyarat angkat kaki, si Fahri menunjukkan keengganannya omong lebih lanjut tentang beras atau tentang yang lain-lainnya. Ia benar-benar orang yang punya harga diri.
Kebetulan si Fahri sedang berdiri di muka rumahnya yang luas. Berdiri mematung seperti menunggu telur menetas di atas kepalanya. Ia seperti sedang menunggu seorang tamu. Setelah menjawab permisinya, Fahri mempersilakan tamunya untuk masuk dan duduk. Sementara ia sendiri masih mematung di depan rumah seperti masih mengharapkan tamu lain. Ia berteriak-teriak menyuruh orang yang ada di dalam rumah untuk membawa air minum. Barulah selang beberapa lama ia masuk dan berlagak memeriksa keperluan tamunya.
Maka diutarakanla maksud kedatangan tamu ini, tiada lain untuk menjual beras yang baru dipanen. Fahri menatap dengan pandangan nyalang seperti biasanya.
“Maaf, Pak, hari ini kami tidak menerima beras Bapak.”
Sebagaimana biasa, tamu si Fahri harus siap dengan kejutan-kejutan. Tetapi kejutan ini terlalu keras bunyinya; lebih keras daripada gelegar guntur di musim hujan. Tetapi kagetnya tamu hanya terlihat dari raut muka saja karena tamu harus tetap berikap tenang dan berwajah dingin seperti batu yang sudah berlumut.
“Mengapa Bapak tidak bisa menerima beras kami?”
“Di pasaran sekarang ini beras harganya sangat murah. Muraaah sekali.”
“Murah sekali? Kenapa?”
“Coba cari ke pasar-pasar. Lihat kualitas beras juga lihat harga berasnya. Murah sekali.”
“Kami tidak mengerti. Mengapa banyak beras di pasaran?”
“Ini bukan ulah petani. Bukan ulah pedagang beras. Aku tak tahu persis ulah siapa ini. Yang jelas semua pasaran kita jadi kacau. Harga beras murah sekali. Tidak ada harganya. Mungkin sebaiknya kita tidak memanen beras atau bahkan membiarkan beras kita untuk pakan ternak.”
Kulihat si Fahri berhenti. Mungkin melihat mataku yang terbelalak. Air mata menggenang di kelopak mata. Aku kecewa. Sangat kecewa. Ia terpaksa menghentikan bacotnya sementara. Tetapi aku tak punya kata-kata untuk diungkapkan. Tak ada kata-kata yang mewakili kesedihan seperti ini. Tak ada gunanya menangis di sini.
“Maaf kami harus menolakmu. Kami punya beras Thailand. Beras ini dipasok untuk kami sebarkan. Ini harus terjadi karena beras ini sangat-sangat murah. Apalagi tidak diragukan lagi kualitasnya tidak kalah dengan beras kita. Pasaran kalian para petani beras sudah musna.”
Aku tertunduk. Kupingku sudah mendengar banyak berita. Sudah lama ia mendengar lagi berita-berita yang isinya bunga-bunga tentang beras itu. Sekarang ia tidak bisa mendengar lagi. Ia sudah pekak dan otakku tidak bisa menerima alasan dibalik itu. Bahwa ia tidak bisa menerima beras-beras kami dengan alasan bla…bla…bla…. ketonggeng hum… pa… pa….
Aku pulang dengan langkah melayang. Tiada bumi, tiada lagi langit. Tak ada lagi yang dapat kurasakan. Aku tak bisa melihat segala yang kulewati karena rasa bingung ini membuatku sedih yang teramat dalam. Dari segala yang kuketahui sudah jelas penyebab kesengsaraan ini. Segala kemelaratan rakyat ini adalah karena pemerintah, orang-orang, para penjual membiarkan sebagian cukong menjual beras Thailand dengan harga sangat miring.

Sumedang, 6 Februari 2006

0 comments: